Rabu, 16 Juni 2010

Kesempurnaan Syariat Islam

Sudah merupakan ciri syari’at Islam dan menjadi kebanggaan umat Islam, sempurna dan lengkapnya segala tuntunan agama mereka.
Allah Jalla Dzikruhu telah menerangkan dalam firman-Nya,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Ma`idah : 3)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl : 89)
Karena kesempurnaannyalah, sehingga segala sesuatu telah diterangkan dalam Al-Qur`an tanpa terkecuali, dalam makna tersurat maupun tersirat, ketetapan secara nash maupun dalil-dalil umum yang mencakup berbagai masalah. Allah Jalla Jalaluhu telah menegaskan dalam Tanzîl-Nya,
“Tiadalah Kami lalaikan sesuatupun di dalam Al-Kitab.” (QS. Al-An’am : 38)
Dan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam adalah penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Qur`an Al-Karîm. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. An-Nahl : 64)
Terangnya jalan Islam, kejelasan petunjuknya dan kesempurnaan tuntunannya, akhirnya tidak memberikan alternatif lain kepada seorang muslim selain hanya mengikuti cahaya dan petunjuknya secara keseluruhan. Karena itulah Allah Jalla wa ‘Ala memerintahkan kepada kaum muslimin dalam firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kalian”. (QS. Al-Baqorah : 208)
Kata Ibnu Katsir (w. 774 H) mentafsirkan ayat di atas, “Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya lagi membenarkan rasul-Nya, untuk mengambil seluruh bagian Islam dan syari’atnya, mengerjakan semua perintah-perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan apa yang mereka mampu.” [1]
Dan Allah Jalla Tsana`uhu juga memerintah untuk mengagungkan seluruh syi’ar dan prinsipnya, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj : 32)
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah yang terbaik baginya di sisi Rabbnya.” (QS. Al-Hajj : 30)
Segala sesuatu telah dijelaskan, bahkan perkara-perkara yang nampaknya sepele sekalipun telah diterangkan dalam agama ini sehingga membuat orang-orang musyrikin dan ahlul kitab iri hati dan dengki kepada umat Islam. Salman Al-Farisy radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَالَ لَنَا الْمُشْرِكُوْنَ هَلْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ, قَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِيْنِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلِّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظْمٍ.
Kaum musyrikin berkata kepada kami, “Apakah Nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) tata cara buang air?” Maka (Salman) menjawab, “Benar, sungguh beliau telah melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil, (melarang) kami beristinja` dengan tangan kanan, (melarang) kami beristinja` kurang dari tiga batu atau kami beristinja` dengan kotoran atau tulang.” [2]
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
مَثْلِيْ وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِيْ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بُنْيَانًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوْفُوْنَ بِهِ وَيُعْجِبُوْنَ لَهُ وَيَقُوْلُوْنَ هَلَّا وَضَعْتَ هَذِهِ اللَّبِنَةَ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ
“Perumpamaan aku dan para nabi adalah bagaikan seorang lelaki yang membangun sebuah bangunan, lalu ia memperbagus dan memperindahnya kecuali sebuah batu di sebuah sudutnya. Kemudian manusia mengelilinginya dan kagum terhadapnya dan mereka berkata, “Tidakkah engkau meletakkan sebuah batu ini.” Maka saya adalah batu tersebut dan saya adalah penutup para nabi.” [3]
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar (w. 852 H) rahimahullah, “Dalam hadits (di atas) menunjukkan bolehnya membuat perumpamaan untuk mendekatkan pemahaman, dan menunjukkan keutamaan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di atas seluruh nabi, dan menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan beliau sebagai penutup para rasul dan menyempurnakan seluruh syari’at agama dengannya.” [4]

[1] Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhîm 1/324 cet. Mu`assah Ar-Rayyan, tanpa tahun.
[2] Hadits riwayat Muslim no. 262, Abu Daud no. 7, At-Tirmidzy no. 16 dan An-Nasa`i 1/38.
[3] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3535 dan Muslim no. 2286 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Dan semakna dengannya hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 3534, Muslim no. 2287 dan At-Tirmidzy no. 2867. Dan Imam Muslim no.2286 juga mengeluarkannya dari hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu dan beliau sebutkan bahwa konteksnya semakna dengan hadits Abu Hurairah.
[4] Baca Fathul Bary 6/558 cet. Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
http://jihadbukankenistaan.com/jalan-petunjuk/kesempurnaan-syari9at-islam.html